KOMPAS.com - Boleh jadi, 20 Februari 2018 lalu menjadi tanggal yang menarik pemberitaan di Tanah Air. Pembangunan jalan tol yang menghubungkan Bekasi hingga Kampung Melayu menelan korban luka. Kecelakaan proyek ini semakin menambah catatan kelam pembangunan infrastruktur Indonesia. Tercatat, beberapa kecelakaan proyek juga terjadi sebelumnya, seperti kecelakaan proyek MRT di Jakarta Selatan di Januari 2018 dan kecelakaan proyek LRT di Jakarta Timur di November 2017. Namun, tulisan ini tidak akan menajamkan berbagai opini mengenai kurangnya perhatian akan keselamatan kerja hingga kemungkinan adanya pengusutan secara pidana oleh penegak hukum. Hanya, berupaya untuk menyadarkan semua pihak kalau Indonesia masih kekurangan banyak sekali insinyur, khususnya insinyur milenial. Bukan (lagi) Cita-cita Profesi insinyur sempat dikenal baik oleh masyarakat ketika tayangan Si Doel Anak Sekolahan, yang diperankan dengan baik oleh Rano Karno, hadir di layar kaca. Si Doel, yang disebut Anak Betawi Asli, merupakan mahasiswa teknik yang diharapkan oleh sang ayah, Babe Sabeni, yang diperankan dengan kharisma seorang Benyamin Sueb, menjadi seorang insinyur. Sang Babe yang merupakan pemilik sebuah oplet butut, mengharapkan profesi insinyur akan memberikan Doel kehidupan lebih baik. Pernah ada satu adegan dimana Babe kecewa hingga menangis ketika Doel menyerah untuk menjadi insinyur. Sinetron layar kaca yang tayang di era pertengahan 90-an itu selaras dengan kebijakan pemerintah saat itu untuk memberikan gelar insinyur kepada mahasiswa teknik yang lulus sarjana tingkat satu (S1). Namun, sejak 1993, setiap lulusan fakultas teknik hanya diberikan gelar sarjana teknik dan gelar Insinyur akan diberikan oleh lembaga profesi insinyur. Itu berarti, 25 tahun sudah kebijakan tersebut berjalan. Masalahnya, alasan terkini mahasiswa berkuliah di fakultas teknik belum tentu karena ingin menjadi seorang insinyur. Ini beda betul dengan mahasiswa yang menuntut ilmu di fakultas kedokteran, yang hampir pasti karena ingin menjadi seorang dokter, bahkan menjadi dokter spesialis. Bagi mahasiswa teknik, mendapatkan gelar sarjana teknik sudah cukup untuk memulai dan meniti karir. Relatif jarang sebuah perusahaan yang bergerak di bidang keteknikan mensyaratkan karyawan barunya untuk bergelar insinyur. Di sisi lain, saya sendiri belum pernah menemukan seorang dokter di rumah sakit yang hanya memiliki gelar sarjana kedokteran tetapi tidak memiliki gelar profesi dokter. Hal itu selaras dengan informasi Persatuan Insinyur Indonesia yang menyebutkan minimnya sarjana teknik yang meneruskan karirnya di bidang keteknikan. Seperti berita yang dilansir Kompas.com pada 2016 lalu, hanya ada 750.000 insinyur di Indonesia. Itu pun hanya 40 persen atau sekitar 300.000 insinyur yang bekerja sesuai keahliannya. Angka 300.000 tersebut pun harus dikritisi lebih lanjut. Seberapa banyak insinyur milenial (berusia di bawah 30 tahun) di dalam kelompok tersebut? Sebuah pertanyaan besar tanpa jawaban yang jelas. Penghargaan vs kesempatan Kurangnya insinyur milenial selalu menjadi pertanyaan besar. Alasan penghargaan atau kurangnya apresiasi dan keuntungan menjadi insinyur selalu disebutkan. Namun, apakah alasan tersebut akurat dan sesuai akar permasalahan? Kita masih ingat, ketika puluhan ribu lulusan S-1 berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai calon pengajar muda pada Gerakan Indonesia Mengajar (GIM), rasanya bukan apresiasi atau gaji yang menjadi satu-satunya sasaran utama. Kesempatan yang diberikan GIM melecut semangat para milenial itu untuk mengabdikan diri atau mengaktualisasikan dirinya. Oleh karena itu, para calon insinyur milenial ini hanya butuh kesempatan dan pengalaman untuk mengaktualisasikan dirinya di bidang keteknikan, bahkan sejak masih menjadi mahasiswa. Betapa tidak, bagi sarjana teknik yang baru lulus hanya bisa menjadi insinyur jika mengikuti Program Profesi Insinyur. Tentu, itu butuh uang yang tidak sedikit. Pun, waktu yang akan tersita. Padahal, dengan modal sarjana teknik saja sudah cukup untuk menimba rupiah dari berbagai perusahaan. Walau ironisnya, perusahaan tersebut belum tentu bergerak di bidang keteknikan. Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi dan pihak universitas pun harus berinovasi lebih lanjut. Mereka tidak melulu harus mengandalkan regulasi dan menyesalkan ketika minimnya minat milenial menjadi insinyur. Mereka bisa bekerjasama dengan perusahaan keteknikan untuk menyediakan program Kerja Praktek, Kuliah Kerja Nyata, ataupun program magang kepada mahasiswa teknik atau calon insinyur milenial. Jangan tempatkan mereka hanya di pekerjaan administrasi atau belakang meja. Berikan mereka kepercayaan dan program mentoring agar memiliki pengalaman dan kebanggaan dengan bekerja di bidang keteknikan. Terjunkan mereka di berbagai proyek infrastruktur, baik itu hard infrastructure ataupun soft infrastructure yang digaungkan oleh Presiden RI Joko Widodo. Biarkan mereka menikmati peluh yang bercucuran di setiap rangka beton yang dicornya. Lihatlah semangat mereka ketika memberikan desain-desain out of the box yang bisa menjadi solusi inovatif. Jejakkan kaki yang terbungkus sepatu bot di galian tanah merah. Berikan senyum dan tawa ketika tangan mereka sedikit tersengat jaringan listrik arus lemah. Kemudian, imbal jasa atau gaji atau uang saku yang diberikan, bisa mereka tabung atau pergunakan untuk mengikuti Program Profesi Insinyur. Lebih baik lagi, tentunya, jika perusahaan tersebut memberikan beasiswa kepada mahasiswa dan calon insinyur milenial ini untuk menempuh Program Profesi Insinyur. Ini bisa menjadi solusi sangat baik dan berkelanjutan agar stok insinyur berpengalaman terjamin. Terlebih, tidak sedikit anggota Persatuan Insinyur Indonesia (PII) yang merupakan dosen perguruan tinggi, pejabat Kemenristekdikti, hingga pemimpin perusahaan keteknikan. Pihak-pihak ini bisa berembuk di Sekretariat PII dan memulai kesepakatan ini. Tidak harus langsung besar, tapi bisa dimulai dari satu atau dua perusahaan dan satu atau dua perguruan tinggi, untuk kemudian dievaluasi dan diadopsi oleh perusahaan dan perguruan tinggi lainnya. Kalau tidak, jangan salahkan para sarjana teknik yang tidak meneruskan langkahnya menjadi seorang insinyur. Jangan selalu gunakan parameter rupiah dalam menarik minat insinyur milenial. Tak heran, jumlah insinyur Indonesia akan semakin berkurang dan Indonesia akan terus kekurangan insinyur. Alhasil, kebutuhan insinyur itu akan diisi oleh insinyur luar negeri, setidaknya dari negara-negara di Asia Tenggara yang benar-benar memberikan pengalaman dan kesempatan pada kaum milenial untuk langsung terjun di proyek infrastruktur sejak awal. Nah, apakah kita benar mau membiarkan musibah terus terjadi dari pembangunan infrastruktur? Jangan sampai, Indonesia menjadi darurat insinyur karena sejak saat ini Indonesia sudah darurat insinyur milenial
Sumber : https://properti.kompas.com/read/2018/02/26/182000921/indonesia-darurat-insinyur-milenial-?page=all